Tugas IBD: Manusia & Keadilan/Kepercayaan



MANUSIA & KEPERCAYAAN

  Kisah pertarungan terbesar Muhammad Ali
Oleh : Indra Rosalia | 07:27 WIB - Jumat , 10 Juni 2016


Legenda tinju Muhammad Ali menghadiri Olimpiade Atlanta 1996 di Georgia, Amerika Serikat (3/8/1996) © Erik S Lesser /EPA

Pertarungan terbesar Muhammad Ali bukan melawan Joe Frazier yang disebut sebagai "Pertarungan Abad Ini." Bukan pula pertarungannya melawan George Foreman. Pertarungan terbesar Ali adalah melawan negaranya sendiri, Amerika Serikat (AS).

Pada 1966, petinju yang meninggal pada Jumat (3/6/2016) ini menolak permintaan pemerintah AS untuk dikirim ke arena perang di Vietnam. Pria bernama asli Cassius Clay ini tidak ingin berperang, karena agama Islam yang dianutnya menentang perang.

"Perang tidak sesuai dengan ajaran Quran. Kami (umat muslim) tidak boleh mengambil bagian dalam sebuah perang, kecuali kalau perang tersebut dinyatakan sendiri oleh Allah atau Nabi. Kami tidak ambil bagian dalam perang umat Kristen atau umat lainnya," ujar Ali dikutip dari Biography Online.

Diceritakan New York Times, Ali juga enggan perang karena tak punya masalah dengan Vietcong (musuh AS di Vietnam). "Tidak pernah ada orang Vietcong yang memanggil saya 'nigger.'" Bagi kaum kulit hitam AS, "nigger" adalah sebutan yang kasar --apalagi jika diucapkan orang berkulit putih.

Ali, saat itu menggenggam gelar juara dunia kelas berat, tak bisa mengerti mengapa pemerintah AS menyuruh warganya pergi sejauh 10 ribu mil dan menembak orat Vietnam berkulit coklat. Padahal di Louisville, Kentucky, kampung halamannya, orang kulit hitam diperlakukan hina.

Beberapa pihak tidak suka dengan siakp Ali. Ia kemudian divonis lima tahun penjara, meski akhirnya batal masuk penjara. Gelar juara dunianya dicopot dan tak bisa bertanding selama tiga setengah tahun.

Banyak pihak simpati pada sikap Ali. Tony Gittens, pemimpin para pelajar di Universitas Howard, mengatakan orang seperti Ali punya prinsip. Dan sikap Ali yang menolak ikut perang diikuti sejumlah anak muda kulit hitam.

Artikel di atas disunting dari alamat: https://beritagar.id/artikel/seni-hiburan/kisah-pertarungan-terbesar-muhammad-ali 

Analisis: Pendapat saya tentang seorang Muhammad Ali. Seorang petinju internasional yang sangat berani menentang Amerika, yang mana negaranya sendiri. Negara yang banyak memberinya penghargaan lewat dunia pertinjiu-an. Dengan tegas Ali menentang untuk tidak ikut berperang. Menurut kepercayaannya bahwa selama orang orang itu (vietcong) tidak menyakiti dirinya baik secara fisik atau apapun. Ia tidak akan melawan orang orang itu. Keyakinan Ali didasari oleh agamanya yaitu agama islam. Dimana agama islam tidak ada yang mengajarkan kekerasan selama kita tidak di usik/ganggu. Bahkan jika ada jalan damai pun islam selalu menganjurkan untuk memilihnya. Berani berdiri jika yang kita lakukan itu benar, sekalipun negara yang memerintahkan. Saran saya contoh lah Muhammad Ali. Beliau bertanding bukan hanya didalam ring. Tetapi diluar juga.

MANUSIA & KEADILAN


Kisah Bu Eni, Penjual Warteg yang Heboh di Sosial Media



Kisah Bu Eni Penjual Warteg yang Heboh di Sosial Media
Saeni penjual warteg yang barang dagangannya dibawa Satpol PP Serang karena berjualan di siang hari selama Ramadhan.(rasyid ridho/SINDOnews)


SERANG - Saeni perempuan berusia 53 tahun, pemilik warung tegal (warteg) di Jalan Cikepuh, Pasar Rau, Kota Serang, Banten ramai menjadi perbincangan di media sosial. Eni menangis melihat dagangannya diangkut petugas Satpol PP pada Rabu 8 Juni 2016 lalu. 

Akibat peristiwa tersebut, ibu dari empat orang anak ini sempat sakit setelah petugas Satpol PP Kota Serang melakukan razia rumah makan yang tetap beroperasi di siang hari pada Ramadhan.

Eni asli Tegal ini sempat sehari tak berjualan, hanya bisa menangis di atas kasur kios warungnya, sekaligus menjadi tempat tinggalnya."Kemarin sempat sakit, karena kaget Satpol PP mengangkut dagangan. Saya mikirin, nangis enggak berhenti-berhenti, kata bapak (suami Eni) sudah jangan nangis ajah, nanti air matanya habis," kata Eni saat ditemui di warungnya. Sabtu (11/6/2016).

Eni menceritakan, saat itu baru selesai masak untuk menjajakan dagangannya, Tapi, petugas Satpol PP datang menggerebek warungnya, tanpa memberikan surat teguran atau peringatan, petugas langsung membungkus seluruh masakannya yang akan dijual untuk dibawa.

"Masak dari pukul 10.00 WIB,  selesai pukul 12.30 WIB. Warung juga pintunya ketutup rapat-rapat, jendela dikasih kain, menghormati yang lagi puasa," ujarnya.

Peristiwa tesebut kini ramai diperbincangan oleh netizen yang kasihan melihat Saeni hanya bisa menangis dan meminta belas kasihan ketika dagangannya diangkut petugas Satpol PP.

Akhirnya Para netizen langsung ramai membuat penggalangan dana untuk Saeni. Ide ini dipelopori akun Twitter @dwikaputra.
Artikel diatas disunting dari: http://daerah.sindonews.com/read/1115893/174/kisah-bu-eni-penjual-warteg-yang-heboh-di-sosial-media-1465646092 
Analisis: Dari kasus diatas diketahui bahwa keadilan di Indonesia masih sangat miris. Hanya warung warung kecil saja yang berani di razia. Hanya karena buka warung di siang hari di bulang puasa. Padahal banyak restoran mahal tetap buka. Mengingat negara kita memang mayoritas muslim. Ada beberapa pihak yang berfikir bahwa negara kita negara muslim. Semua harus taat sama aturan islam. Padahal tidak demikian. Tertulis di sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan yang maha esa". Belum lagi semboyan negara kita yang berbunyi "Bhinneka Tunggal Ika" yang artinya berbeda beda tetap satu jua. Jadi sah sah saja jika ada tempat makan yang buka di siang hari. asal tetap menghormati yang puasa dengan menutup pintunya atau gorden. Harusnya orang orang itu berfikir bagaimana jika rang yang tidak berpuasa. gak bisa menemukan makanan di siang hari hanya karna umat islam berpuasa.
Keadilan di Indonesia memang masih sangat memperihatinkan. Keadilan memang sudah patut ditanam kan sejak dini oleh orang tua terhadap anaknya agar membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. 

 

Comments